Salinda Blog
Elektronika dan Pemograman
RSS
Untuk menyimpan data string di EEPROM pada platform Arduino, caranya sangat sederhana, yaitu:
#include <EEPROM.h>
#include <avr/pgmspace.h>
//data string yang disimpan pada memori FLASH
prog_char text1[] PROGMEM = “INI DATA STRING YANG DISIMPAN”;
//variable untuk menyimpan string
char text2[64];
//variable untuk counter
int num;
//variable untuk jumlah karakter
int length;
//copy data string dari memori FLASH ke RAM
strcpy_P(text2, (char*) text1);
//variable num diisi alamat awal EEPROM, misalnya 6
num = 6;
length = 30;
//tulis banyaknya karakter ke EEPROM
EEPROM.write(num++, length);
//tulis data string
for (int i=num;i < (num + length);i++)
{
EEPROM.write(i, (int) text2[i-num]);
}
Sedangkan untuk membaca kembali data string tersebut dari EEPROM, adalah sebagai berikut:
#include <EEPROM.h>
#include <avr/pgmspace.h>
//variable untuk menyimpan string
char text2[64];
//variable untuk counter
int num;
//variable untuk jumlah karakter
int length;
//asumsi EEPROM tersebut sudah ditulis dgn program di atas
//variable num diisi alamat awal EEPROM
num = 6;
//baca jumlah karakter dari string
length = EEPROM.read(num);
num++;
//baca data string dari EEPROM ke RAM
for (int i=num;i<(num+length);i++)
{
text2[i-num] = (char) EEPROM.read(i);
}
Semoga trik singkat ini bermanfaat.
Untuk mencapai performa yang mendekati hasil simulasi, salah satunya ditentukan dengan pemilihan komponen yang tepat. Resistor dan kapasitor tidaklah ideal hanya murni memiliki resistansi/tahanan atau kapasitansi. Mereka memiliki banyak tipe dengan bahan dan proses pembuatannya yang berbeda-beda sehingga memiliki karakteristik yang berbeda. Di sini akan dibahas karakteristik seperti apa komponen yang dibutuhkan untuk menghasilkan rangkaian audio yang low noise dan low distortion (cacatnya kecil).
Resistor
Resistor yang umum dipakai pada rangkaian audio umumnya dari bahan karbon, thick film, thin film atau metal film, metal foil, dan wire wound (gulungan kawat/resistor daya besar atau oleh orang awam disebut resistor kapur).
Ada dua karakteristik utama yang membedakan resistor-resitor tersebut, yaitu koefisien tegangan dan koefisien suhu. Koefisien tegangan (VCR) adalah besarnya perubahan nilai tahanan yang disebabkan oleh perubahan tegangan pada resistor tersebut. Satuannya adalah ppm/V. Sedangkan koefisien suhu (TCR) adalah besarnya perubahan nilai tahanan yang disebabkan oleh perubahan suhu pada resistor tersebut. Satuannya adalah ppm/ᵒC. (ppm = parts per million = bagian persejuta).
Adanya tegangan pada resistor mengakibatkan suhu resistor tersebut akan naik.
Resistor karbon memiliki toleransi dari 5% – 20%, TCR dari 150 – 1000 ppm/ᵒC, makin kecil nilai tahanannya makin besar TCR –nya. Resistor ini memiliki modulation noise dan VCR yang lebih tinggi daripada resistor tipe lain. Sangat tidak disarankan untuk rangkaian audio, kecuali untuk amplifier gitar yang memang diinginkan cacat harmonik yang tinggi.
Resistor thick film popular digunakan di semua rangkaian elektronik. Resistor ini memiliki toleransi yang baik, yaitu dari 0,1% – 2%. TCR –nya dari 100 – 250 ppm/ᵒC dan VCR –nya biasa saja sekitar 10 ppm/V (berbeda-beda tiap pabrik). Modulation noise –nya pun tidak terlalu tinggi.
Resistor thin film atau metal film memiliki performa yang lebih tinggi dibandingkan dengan resistor thick film, namun harganya lebih mahal. Resistor ini memiliki toleransi yang sangat rendah dari 0,02% – 1%. TCR –nya umumnya berkisar dari 5 – 25 ppm/ᵒC, tapi ada yang mencapai 2 ppm/ᵒC. VCR –nya dari 0,1 – 1 ppm/V dan modulation noise sangat kecil.
Resistor metal foil sangat bagus digunakan untuk aplikasi yang hanya ada tegangan DC. Dan harganya paling mahal. Toleransinya sangat kecil mencapai 0,001% dan TCR –nya juga sangat kecil mencapai 0,05 ppm/ᵒC. VCR –nya luar biasa kecil mencapai kurang dari 0,1 ppm/V dan modulation noise sangat kecil. Namun ada kekurangan pada resistor ini, yaitu pada frekuensi rendah cacat yang dihasilkan cukup tinggi.
Resistor wire wound boleh dikatakan tidak memiliki VCR. Resistor ini memiliki induktansi internal yang tinggi sehingga harus hati-hati memakainya dalam rangkaian audio.
VCR resistor ini akan menghasilkan cacat harmonic dengan harmonic ke-3 yang dominan. Sedangkan TCR yang dipengaruhi juga oleh daya yang di-disipasi-kan/dibuang ole resistor akan meningkatkan cacat harmonik pada frekuensi sekitar 5 – 200 Hz. Untuk mengurangi efek VCR bisa dengan cara menseri resistor-resistor. Dan untuk mengurangi efek TCR bisa memakai resistor dengan rating daya yang besar.
Untuk rangkaian audio sebaiknya hindarkan pemakaian resistor metal foil karena performa pada sinyal AC tidak baik. Sedangkan untuk resistor chip atau SMD gunakan ukuran 1206. Gunakan resistor thin metal atau metal film jika tegangan DC cukup besar pada resistor tersebut.
Kapasitor
Kapasitor yang umum digunakan pada rangkaian audio di jalur sinyal memiliki bahan dielektrik bermacam-macam, yaitu polymer film (PET, PEN, PPS, PP, PS, dan PTFE), keramik (Z5U, X7R, NP0, dan Hi-K), (silver) mica, dan glass.
Polystyrene (PS) memiliki TCR yang kecil sekitar 100 ppm/ᵒC dan dapat meleleh pada suhu 85 ᵒC sehingga mudah rusak akibat penyolderan yang terlalu lama. Polypropylene (PP) memiliki TCR yang kecil sekitar 250 ppm/ᵒC dan dapat meleleh pada suhu 105 ᵒC.

Polypropylene.
Polymer film ada 2 jenis yaitu metal film dan foil film. Foil film memiliki ESR (Equivalent Series Resistance) yang lebih kecil dan mampu menahan arus kejut (surge) yang lebih tinggi. Sedapat mungkin gunakan kapasitor foil film (misalnya aluminium foil) pada jalur sinyal audio.

MKP (Polypropylene dengan konstruksi metal film)

MKP (Polypropylene dengan konstruksi copper foil)
Kapasitor keramik sebaiknya dihindarkan karena memiliki VCR yang tinggi, kecuali tipe NP0 atau COG yang memiliki TCR yang sangat kecil yaitu dari 15 – 30 ppm/ᵒC. Kapasitor jenis ini sering digunakan pada kompensasi di amplifier (kompensasi Miller, TPC, TMC, lead, lag, dll).
Kapasitor mica atau silver mica pada jaman dulu banyak dipakai di rangkaian audio karena TCR yang sangat kecil, namun adanya keramik NP0 atau COG yang lebih murah, maka kapasitor mica jarang dipakai. Sayangnya toko komponen elektronik di Indonesia yang saya tanya belum ada yang tahu apa itu keramik NP0 atau COG, sehingga saya masih memakai kapasitor silver mica ini.

Silver mica.
Kapasitor glass memiliki VCR yang hampir nol. Tidak memiliki efek penuaan (nilainya berubah dengan bertambahnya usia kapasitor). TCR –nya lebih tinggi daripada kapasitor keramik NP0.
Rangkaian audio dengan performa tinggi bisa dicapai salah satunya dengan memilih komponen yang tepat untuk tiap-tiap fungsi pada rangkaian tersebut. Karena tiap fungsi membutuhkan karakteristik yang berbeda-beda. Perhatian atas detail ini yang memungkinkan dicapainya rangkaian audio yang memiliki low noise dan low distortion.
Bacaan lebih lanjut:
Capacitor 1
Capacitor 2
Capacitor 3
Saat amplifier bekerja pada kelas AB maka saat tidak ada sinyal input, transistor final mengalirkan sedikit arus pada kolektor jika memakai transistor bipolar atau pada drain jika memakai transistor mosfet. Ini sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya. Namun arus kolektor dan arus drain (kecuali lateral mosfet) ini terpengaruh suhu karena VBE (tegangan basis – emitor) dan VGS (tegangan gate – source) memiliki koefisien suhu. Koefisien suhu VBE ini sebesar -2,2 mV/ᵒC dan VGS pada vertical mosfet sebesar -4 mV/ᵒC sampai -6 mV/ᵒC. Makin tinggi suhunya, makin kecil VBE dan VGS sehingga arus kolektor ataupun arus drain juga makin besar.
Makin bertambah besar arus bias ini terhadap suhu, bisa membahayakan transistor dan mengakibatkan cacat harmonic meningkat pada transistor bipolar. Untuk itu digunakan bias servo yang juga berguna untuk mengatur tegangan bias. Bias servo ini sering disebut VBE multiplier yang dipasang pada pendingin transistor yang distabilkan arus biasnya.
Pada amplifier untuk public address (PA), seringkali transistor final bekerja pada kelas B yang arus biasnya nol atau kecil sekali. Untuk amplifier kelas B tidak diperlukan bias servo.
Bias Servo Pada Konfigurasi Output CFP (Complementary Feedback Pair)
Contoh bias servo pada CFP atau Sziklai adalah sebagai berikut.

Q3 adalah VBE multipler atau rangkaian pengkali tegangan VBE. Tegangan kolektor – emitor Q3 besarnya adalah VBE x (R4/R3 + 1). Agar Q1 dan Q4 mengalirkan arus pada kolektornya sehingga Q2 dan Q5 juga akan mengalirkan arus pada kolektornya, diperlukan tegangan sekitar 2x VBE. Sehingga VBE multiplier ini memiliki koefisien suhu 2 x -2,2 mV/ᵒC yang besarnya sama dengan koefisien suhu Q1 ditambah koefisien suhu Q4. Arus kolektor Q1 dan Q4 akan stabil terhadap suhu jika suhu Q3, Q1, dan Q4 sama. Oleh karena itu Q3, Q1, dan Q4 ditempelkan pada satu pendingin yang terpisah dengan pendingin transistor final Q2 dan Q5.
Bias Servo Pada Konfigurasi Output Double EF (Emitter Follower)
Contoh bias servo pada Double EF adalah sebagai berikut.

Agar Q2 dan Q5 mengalirkan arus bias, maka diperlukan tegangan VBE multiplier sekitar 4x VBE, sehingga koefisien suhu tegangan kolektor – emitor Q3 sebesar 4x -2,2 mV/ᵒC. Koefisien suhu tersebut sama dengan jumlah koefisien suhu Q1, Q2, Q4, dan Q5. Sehingga Q3, Q1, Q2, Q4, dan Q5 harus dipasang pada pendingin yang sama agar suhunya selalu sama.
Bias Servo Pada Mosfet
Untuk lateral mosfet tidak diperlukan bias servo karena koefisien suhu lateral mosfet nol pada arus drain sekitar 150 mA. Sedangkan pada vertical mosfet diperlukan. Contoh bias servo pada vertical mosfet adalah sebagai berikut.

Umumnya vertical mosfet mulai bekerja jika tegangan gate – source (VGS) nya sekitar 4V (ada yang 0,8V tapi jarang). Pada rangkaian VBE multiplier sengaja disisipkan transistor Q1 yang difungsikan sebagai dioda agar koefisien suhunya turun. Jika tidak ada Q1 maka koefiesien suhu tegangan kolektor – emitor Q3 sebesar 8 / VBE x -2,2 mV/ᵒC. Jika VBE sebesar 0,65V maka koefisien suhunya sebesar -27mV/ᵒC. Sedangkan koefisien suhu VGS IRFP240 adalah -6 mV/ᵒC pada arus drain 150 mA, jadi total koefisien suhu kedua mosfet tersebut adalah -12 mV/ᵒC.
Koefisien suhu tegangan VAS+ dan VAS- sebesar 8 / (VBE + VBE) x -2,2 mV/ᵒC. Koefisien suhunya hanya dikalikan -2,2 mV/ᵒC, karena hanya Q1 yang dipasang pada pendingin M1 dan M2. Jika VBE sebesar 0,65V maka koefisien suhunya sebesar -13,5 mV/ᵒC.
Untuk konfigurasi output yang lain diperlukan bias servo yang berbeda. Pada prinsipnya koefisien suhu rangkaian bias servo, harus sama atau sedikit lebih kecil daripada rangkaian yang dibiasnya. Ini akan menjamin arus bias stabil terhadap suhu atau setidaknya jika suhu naik arus bias hanya akan sedikit turun.
Speaker tidak boleh diberi tegangan DC karena akan menggeser coil/spul-nya. Ini menyebabkan spul tidak bisa bergerak secara maksimal dan menghasilkan suara yang cacat. Tegangan DC yang cukup tinggi bisa membakar spul. Oleh karena ini harus dihindari tegangan DC pada speaker.
Kebanyakan amplifier memakai tegangan ganda (positif-ground-negatif) dan menghubungkan keluaran amplifier langsung ke speaker tanpa kapasitor. Pada keluaran amplifier bisa mengandung tegangan DC walaupun cukup kecil dan tidak berbahaya bagi speaker. Tegangan DC pada keluaran amplifier ini disebut DC offset.
Bagaimana meminimalkan DC offset pada sebuah rancangan amplifier? Pada artikel ini akan dibahas caranya, khususnya pada amplifier yang memakai topologi Lin.

Pada gambar diatas adalah input amplifier yang memakai penguat diferensial atau LTP. Penguat diferensial tersebut dibentuk oleh Q1 dan Q2. Oleh cermin arus Q3 dan Q4, arus kolektor Q1 dan Q2 dipaksa agar sama besarnya. Jika hFE Q1 dan Q2 sama, maka arus basis Q1 dan Q2 juga sama. Arus basis Q1 mengalir melalui R2 dari keluaran amplifier dan arus basis Q2 mengalir melalui R1 dari ground. Jika R1 dan R2 nilainya sama dan VBE dari Q1 dan Q2 sama, maka tegangan pada keluaran amplifier menjadi 0V.
Namun tidak ada hFE dan VBE (tegangan basis-emitor) dari transistor yang sama tipenya yang nilainya sama persis. Juga nilai resistor R1 dan R2 tidak akan sama persis karena adanya toleransi komponen tersebut. Hal ini mengakibatkan tegangan DC pada amplifier tidak 0V. DC offset ini bisa bernilai plus atau minus beberapa ratus mili Volt. Namun amplifier yang dirancang dengan baik, DC offsetnya harus di bawah plus atau minus 50mV.
Untuk memperkecil DC offset, gunakan transistor yang memiliki hFE yang tinggi pada Q1 dan Q2. Ini akan menyebabkan arus basis menjadi kecil. Juga pilih nilai R1 dan R2 yang cukup kecil. R1 dan R2 tidak boleh terlalu kecil karena impedansi masukan amplifier salah satunya ditentukan oleh R1. Umumnya R1 dan R2 dipilih antara 10K sampai 22K Ohm.
VBE dari transistor bipolar memiliki koefisien suhu sebesar -2,2mV/ᵒC. Makin tinggi suhu transistor makin kecil VBE. Jika suhu Q1 dan Q2 tidak sama, maka arus basisnya pun menjadi tidak sama. Untuk mempertahankan agar arus basis Q1 dan Q2 tetap sama walaupun suhunya berubah-ubah, maka Q1 dan Q2 harus ditempelkan badannya sehingga suhu Q1 dan Q2 selalu sama.
Pengaturan DC Offset dengan trimpot
DC offset juga bisa diatur agar mendekati 0V dengan trimpot seperti gambar di bawah ini.

Pengaturan DC Offset dengan DC Servo
DC Servo adalah rangkaian yang “memaksa” keluaran amplifier selalu mendekati 0V, walaupun pada input amplifier diberi tegangan DC dalam jangkauan tertentu. Dan meskipun transistor pada penguat diferensial suhunya tidak sama, DC offset tetap selalu mendekati 0V. Dengan memakai DC Servo ini, DC offset bisa serendah plus atau minus beberapa µV. Input amplifier pun tidak perlu diberi coupling kapasitor atau istilahnya DC coupled.
Contoh rangkaian DC servo ada di bawah ini.

DC Servo dibentuk dari op-amp U1A dan U1B. U1A sebagai integrator dan U1B sebagai inverting amplifier dengan penguatan tegangan -1x.
Karena adanya casing amplifier yang membutuhkan volume control dan input selector, maka saya bikin rancangan pre-amp yang sederhana. Input selector memakai relay 12V agar perkabelan menjadi rapi. Keluaran dari input selector langsung ke potensiometer sebagai volume control. Dari volume control ke op-amp sebagai penguatan tegangan yang penguatannya sekitar 4x. Rangkaiannya bisa dilihat di bawah ini.

Op-amp yang saya gunakan adalah LM4562, namun bisa memakai op-amp lain asalkan slew rate nya lebih besar dari 6V/uS dan low noise. Potensiometernya harus yang bertipe logaritmik. Penguatan tegangannya bisa diganti dengan merubah nilai R4 dan R7, sesuaikan dengan sensitivitas input amplifier yang digunakan.
Implementasinya seperti ini.


Topologi Lin sangat terkenal dan banyak dipakai baik pada amplifier DIY dan pabrikan. Rancangannya mudah dipahami dan bisa menghasilkan cacat harmonic (THD) yang sangat kecil. Rancangan topologi Lin yang paling terkenal di dunia DIY adalah P3A yang dirancang oleh Rod Elliot. Bahkan kit legendaris di Indonesia yaitu OCL 150 masih terkenal sampai sekarang yang rancangannya lebih kuno daripada P3A. Kepopuleran OCL 150 sangat mungkin disebabkan karena pembuat kit amplifier di Indonesia kurang mengikuti perkembangan tehnologi dan kurang menguasai perancangan amplifier, sehingga jarang ada kit amplifier yang lebih baik. Setelah P3A, amplifier DX series rancangan Destroyer X menjadi terkenal. Amplifier DX ini rancangannya sudah lebih modern, namun cacat harmonik (THD) pada frekuensi 20 kHz belum mendapatkan perhatian sampai saat Samuel Gorner memberikan komentar pada buku Douglas Self. Pada buku “Audio Power Amplifier Design” edisi ke-6, Douglas Self memuat komentar Samuel Gorner tersebut. Rancangan amplifier DIY dengan topologi Lin yang paling baru adalah Honey Badger yang dirancang oleh Ostripper. Sedangkan kit amplifier legendaris yang memakai topologi ini adalah AKSA 55 yang artikelnya dimuat pada blog ini.
Saya tertarik untuk mengimplementasikan rancangan amplifier dengan topologi Lin ini dalam amplifier yang sebenarnya. Maka saya buat simulasinya terlebih dahulu. Konsep amplifier ini adalah bagaimana membuat amplifier dengan daya maksimal sekitar 150 watt rms pada 4 Ohm dengan cacat harmonik (THD) sekecil-kecilnya dan slew rate setinggi-tingginya. Saya pilih daya maksimal 150 watt karena lebih mudah implementasinya dan daya sebesar itu cukup buat sebagian besar orang buat digunakan di rumah sebagai home audio walaupun bisa juga untuk tweeter amplifier pada aplikasi public address. Daya sebesar ini membutuhkan catu daya sebesar +-45V. Rancangannya ada di bawah ini.

Nilai komponennya belum bisa saya berikan karena amplifier ini masih di test dan mungkin akan saya komersialkan PCB atau KIT nya.
Cara kerja rancangan ini sederhana. Q11 dan Q12 adalah penguat diferensial atau LTP dengan sumber arus tetap Q5 dan Q10 sebesar 4mA. Beban LTP adalah cermin arus EFA yang dibentuk oleh Q13, Q14, dan Q15. Sedangkan bagian VAS menggunakan enhanced beta (istilah dari Douglas Self) yaitu Q1 dan Q6. Q7 digunakan untuk membatasi arus kolektor Q1 jika pada bagian output terjadi masalah. Pada operasi normal Q7 tidak bekerja. Beban VAS memakai sumber arus tetap sebesar 8,8mA oleh Q2. Bagian output memakai double emitter follower yang mudah implementasinya (Q16, Q17, Q18, dan Q19). Agar performanya mendekati triple emitter follower, maka digunakan transistor driver yang memiliki hFE yang sangat tinggi. Kompensasi amplifier ini memakai TMC agar cacat harmonik pada frekuensi 20 kHz kecil. Kompensasi TMC dibentuk dari C23, C24, dan R40. Pada bagian input diberi capacitance multiplier Q8 dan Q9 agar PSRR nya meningkat.
Hasil simulasinya adalah sebagai berikut:
Phase Margin 66 derajat. Gain Margin 8 dB.
THD pada 71W/8Ohm, 1kHz -> 0.000318%
THD pada 71W/8Ohm, 20kHz -> 0.000307%
THD pada 142W/4Ohm, 1kHz -> 0.000323%
THD pada 142W/4Ohm, 20kHz -> 0.000584%
THD pada 182W/2Ohm, 1kHz -> 0.000481%
THD pada 182W/2Ohm, 20kHz-> 0.001595%
PSRR pada 100Hz -> 118 dB
Slew Rate sebesar 90V/µS
Walaupun cacat harmonik pada beban 2 Ohm sangat kecil, tidak dianjurkan membebaninya dengan impedansi sekecil 2 Ohm karena bisa menyebabkan transistor final bekerja di luar batas kemampuannya (melanggar Safe Operating Area / SOA). Jika ingin memakai speaker 2 Ohm disarankan menambah transistor final menjadi 3 pasang atau menggunakan transistor final yang memiliki power dissipation sebesar 230 Watt seperti MJL4281A dan MJL4302A.
Ini foto implementasinya.

Prototype bisa berfungsi dengan baik. Namun kualitas frekuensi tinggi masih kalah dengan VSSA. Setelah berkali-kali melakukan simulasi agar mendapatkan cacat harmonik terendah pada frekuensi 20 kHz, maka hasil simulasi langsung diterapkan. Hasilnya kualitas frekuensi tinggi meningkat. Saya putuskan rancangan ini layak untuk dijadikan kit.
Tunggu paling lama sebulan akan tersedia PCB nya. PCB sudah tersedia. Informasi pemesanan lihat di sini.
Hasil simulasi terbaru:
THD pada 71W/8Ohm, 20kHz -> 0.000287%
THD pada 142W/4Ohm, 20kHz -> 0.000537%

Test dengan sinyal kotak 60kHz dengan capacitor filter pada input dilepas dan output pada keluaran amplifier sebelum inductor. Beban resistor daya 8,2 Ohm. Tegangan output sebesar 6Vpp. Terlihat sinyal output sama persis bentuknya dengan sinyal input. Sayangnya frekuensi generator yang digunakan kurang baik. Namun ini sudah menunjukkan bahwa slew rate amplifier ini sangat tinggi dibandingkan dengan kit amplifier lainnya.
Power Supply

Blameless 150 ini menggunakan power supply +-45V DC. Trafo yang 32V CT 8A cukup, namun karena 8A tidak umum, maka digunakan yang 10A. Schematic power supply yang disarankan bisa dilihat di bawah ini.
Usahakan titik-titik ground sedekat mungkin, kalau bisa satu titik. Hubungan ke casing harus pada satu titik di casing tersebut. Kabel-kabelnya memakai ukuran AWG 18.
Seperti yang sudah dibahas pada artikel sebelumnya, kali ini saya akan implementasikan pada rangkaian yang sebenarnya. Rangkaian untuk melindungi speaker ini berdasarkan rancangan dari Douglas Self yang sudah saya sesuaikan dengan keperluan saya. Adapun fiturnya adalah:
– Tundaan waktu relay ON pertama kali dihidupkan.
– Relay OFF secepat-cepatnya begitu trafo diputus dari sumber listrik.
– Deteksi tegangan DC pada output amplifier.
– Saklar muting, bisa diganti dengan thermostat.
Schematicnya bisa dilihat di bawah ini:

Pertama kali rangkaian dihidupkan, R3 mengisi muatan C1 sehingga tegangan C1 naik dari 0V sampai 16,56V terus berhenti karena Q4 menjadi ON disebabkan adanya D1 dan D2. Waktu yang dibutuhkan untuk pengisian C1 sampai Q4 ON sekitar 4,7 detik. Makin besar nilai C1 makin lama waktu pengisiannya. Jika Q4 ON maka Q8 juga akan ON sehingga relay juga ON. Tipe relay yang digunakan adalah relay 12V dengan resistansi koil sekitar 400 Ohm.
Saat koil relay diberi arus listrik, maka terjadi tegangan balik EMF (Electromotive Force) yang besarnya sekitar -120V. Tegangan ini bisa menyebabkan transistor Q8 rusak. Umumnya pada koil relay diberi proteksi seduah dioda agar tegangan EMF ini menjadi -0,6V saja. Namun di sini diberi proteksi dioda penyearah dan diode zener 15V. Sehingga tegangan EMF pada koil relay sebesar -15,6V dan karena relay diseri maka total tegangan EMF menjadi -31,2V. Ini masih aman buat transistor Q8. Membiarkan tegangan EMF agak tinggi gunanya untuk mempercepat waktu ON relay.
Untuk mematikan relay saat tegangan listrik diputus digunakan D3 dan D4 sebagai penyearah. Jika ada tegangan AC maka transistor Q1 ON sehingga transistor Q2 menjadi OFF sehingga tegangan C1 tidak terganggu. Saat tidak ada tegangan AC, maka transistor Q1 OFF dan transistor Q2 OFF dengan sedikit tundaan oleh R5 dan C2. Diberi sedikit tundaan agar jika tegangan AC hilang sesaat atau turun sesaat karena sesuatu hal, maka transistor Q2 tetap ON.
Output amplifier difilter dengan R17, R18, C5, dan C6 agar yang keluar hanya tegangan DC nya saja. Tegangan DC ini dideteksi oleh transistor Q5 dan Q6 yang saya rancang agar membuat ON transistor Q7 jika tegangannya lebih besar dari 1,8V dan kurang dari -1,8V. Namun kenyataannya saya ukur batas tegangannya adalah 2,1V dan -1,8V. Ini karena toleransi komponen. Tegangan tersebut cukup untuk memproteksi speaker. Jika transistor Q7 ON, maka transistor Q3 juga ON lalu membuang muatan C1 melalui D12. Karena C1 kehilangan muatan maka relay menjadi OFF.
Transistor Q9 untuk mengurangi daya relay. Relay 12V biasanya tetap ON jika diberi tegangan minimal 7V. Namun agar respon ON relay cepat, relay diberi tegangan yang sedikit lebih tinggi. Saat transistor Q8 ON, transistor Q9 juga ON dan menghubungsingkatkan R12. Kemudian C4 diisi muatannya oleh R13. Saat tegangan C4 nilainya mendekati tegangan emitor transistor Q9, maka transistor Q9 menjadi OFF sehingga tegangan relay menjadi turun karena adanya R12.
Implementasinya ada dibawah ini.

Layout PCB



Slew rate sebesar 75V/µS.
Daya maksimal 49 Watt rms pada 8 Ohm atau 75 Watt rms pada 4 Ohm.
Saat transistor ditemukan, rancangan amplifier meniru amplifier tabung dengan memakai transformator (trafo), baik pada input dan outputnya. Amplifier semacam ini bisa kita temukan pada radio jaman dulu dan masih dipraktekkan di sekolah pada tahun 1980-an. Kemudian disadari bahwa transistor memiliki penguatan arus yang besar dan bekerja pada tegangan yang jauh lebih rendah daripada tabung sehingga tidak ada alas an untuk penggunaan trafo pada jalur sinyalnya. Muncullah sebutan OTL (Output Transformator Less). Karena penggunaan tegangan power supply tunggal, maka penghilangan trafo menyebabkan speaker tidak bisa dihubungkan secara langsung ke amplifier. Tegangan output amplifier umumnya setengah dari tegangan power supply. Speaker dihubungkan dengan kapasitor (elco) untuk mencegah tegangan DC membakar spul speaker. Amplifier semacam ini popular pada tahun 1970-an.
Amplifier tersebut memakai satu transistor pada inputnya (singleton). Ini adalah salah satu contohnya dengan memakai transistor yang modern.

Transistor input Q8 dibias oleh diode zener D1 melalui R15. Basis Q8 sekitar 35,8V dengan R14 ke output yang berfungsi sebagai resistor umpan balik, maka tegangan output menjadi 33,7V hampir setengan tegangan power supply yang besarnya 70V. Q1 sebagai VAS dengan beban resistor R2 dan R6 yang di bootstrap menentukan besarnya arus kolektor VAS tersebut sebesar 5mA. Q2 sebagai VBE multiplier untuk memberikan arus bias pada transistor keluaran agar bekerja pada kelas AB. Arus bias diatur dengan R5 sebesar 16mA. Q3, Q4, Q6, dan Q7 dikonfigurasikan sebagai CFP atau Sziklai. Agar arus bias stabil terhadap suhu, Q2, Q3, dan Q4 harus dipasang pada satu pendingin kecil yang terpisah dari pendingin Q6 dan Q7.
C3 sebagai kompensasi Miller sengaja nilainya dipilih agak kecil agar slew rate nya tinggi. Agar amplifier lebih stabil dipasang C4 sebagai lead kompesasi.
Penguatan tegangan sebesar 1 + (R14/R13) yaitu 32,4 kali atau 30,2dB.
Hasil simulasi
Performa rangkaian ini yang di dapat dengan simulasi adalah sebagai berikut:
Phase Margin sebesar 88 derajat dan Gain Margin sebesar 13 dB. Jadi amplifier ini stabil.
Slew rate sebesar 35V/µS. Daya maksimal 55 Watt rms pada 8 Ohm dan 75 Watt rms pada 4 Ohm.
Amplifier AKSA 55 dirancang oleh Hugh Dean, orang Australia yang memiliki isteri orang Semarang, Jawa Tengah. Amplifier ini sangat terkenal pada waktu itu dan sampai sekarang masih dibicarakan. Rangkaiannya sederhana tapi Hugh Dean berhasil mengoptimalkannya, baik pemilihan nilai dan jenis komponen, perancangan jalur PCB dan tata letak komponen. Amplifier ini dijual berupa kit dan harganya cukup murah pada waktu itu. Namun banyak orang menganggap bahwa kualitas suaranya menyamai amplifier yang harganya berkali-kali lipat. Inilah contoh rancangan amplifier yang hebat.
Walaupun sudah cukup lama amplifier ini dibuat dan sekarang sudah tidak dijual lagi, tapi Hugh Dean tetap tidak mau membagi schematic AKSA 55 ke publik. Ia hanya memberikan rancangan konseptual yang beberapa nilai komponen tidak disebutkan. Rancangan konseptualnya ada di http://www.diyaudio.com/forums/everything-else/35899-attention-aksa-55-hugh-thinking-let-us-see-schematics-forum-34.html#post1652112
Saya akan mensimulasikan rancangan Hugh Dean tersebut, tentu saja dengan nilai komponen versi saya sendiri, karena saya belum pernah melihat schematic aslinya atau kit aslinya. Rancangan tersebut ada di bawah ini.

Saya tidak punya model transistor 2SC1819, maka saya ganti 2SC3503. Kriteria utama dari transistor VAS ini adalah nilai Cob yang rendah dan Early Voltage yang tinggi sehingga transistor untuk penguat video sangat cocok. Kemudian walaupun saya memiliki model transistor 2N5401 namun setelah saya ganti dengan BC560C menghasilkan performa yang lebih baik. Nilai R1 harus cukup tinggi agar PSRR tinggi tapi harus cukup rendah agar arus kolektor pada transistor LTP cukup tinggi agar menghasilkan slew rate yang tinggi. Kompromi dilakukan dengan memilih nilai R1 sebesar 15K ohm. Kemudian dicari nilai R2 agar arus kolektor Q1 dan Q2 sama sehingga THD menjadi minimal. R9 dan R10 menentukan arus kolektor dari Q3 agar mampu men-drive transistor output Q5, Q6, Q7, dan Q8 yang dikonfigurasikan sebagai emitter follower. Arus kolektor Q3 harus cukup tinggi sehingga slew rate nya tinggi, namun juga harus cukup rendah agar beban Q3 tidak terlalu rendah sehingga THD menjadi tinggi. Kompromi dilakukan dengan memilih arus kolektor Q3 sekitar 6,5mA.
Untunglah hFE dari Q5 dan Q6 cukup tinggi sehingga transistor VAS tidak terlalu terbebani.
Q4 sebagai sensor suhu agar arus kolektor Q7 dan Q8 stabil harus dipasang pada pendingin utama. Q3, Q5, dan Q6 tidak memerlukan pendingin. Q5 dan Q6 akan menjadi hangat, jika diberi pendingin cukup dengan pendingin yang paling kecil. Arus kolektor Q7 dan Q8 diatur oleh R8 sebesar 55mA sampai 60mA untuk meminimalkan cacat crossover.
Hasil simulasi adalah sebagai berikut.
Phase margin sebesar 81 derajat dan gain margin sebesar 14 dB. Jadi amplifier ini stabil.
THD pada 1 kHz dengan daya 39 Watt rms pada beban 8 ohm adalah 0.001531%.
THD pada 20 kHz dengan daya 39 Watt rms pada beban 8 ohm adalah 0.005736%.
Slew rate nya sebesar 35V/uS sehingga power bandwidth menjadi sekitar 185 kHz.
Amplifier ini menggunakan tegangan power supply sebesar +-35V sehingga daya maksimalnya menjadi 55 Watt rms pada 8 Ohm dan 70 Watt rms pada 4 Ohm. Walaupun amplifier sederhana ini menghasilkan performa yang cukup baik pada simulasi, namun diperlukan implementasi yang tepat agar performanya mendekati hasil simulasi. Mungkin hasil simulasi ini mendekati atau bahkan mungkin melebihi dari performa AKSA 55, tetapi tanpa pemilihan jenis komponen yang tepat dan perancangan tata letak komponen dan jalur PCB yang optimal, akan sulit menandingi kualitas suara AKSA 55.
Update 20 April 2014

Saya sedikit modifikasi rangkaian ini agar DC offset lebih kecil dengan merubah nilai resistor R3 dan nilai C6 disesuaikan dengan perubahan ini. Lalu ditambahkan C14 agar perubahan kondisi dari aktif ke pasif Q7 dan Q8 lebih cepat. Hasilnya THD sedikit lebih kecil.
Contoh Layout


Saya bangga artikel ini mendapat perhatian dari perancang aslinya yaitu Hugh Dean. Ini komentar beliau. Salah seorang pembaca blog ini yang tidak mau disebut namanya, telah membuat amplifier AKSA 55 berdasarkan schematic yang ada pada blog ini. Ini implementasinya:

Saudara Taufik yang komentarnya ada di bawah, mengirimkan foto hasil implementasinya kepada saya. Fotonya seperti ini:

Pembahasan dan cara pembuatannya ada di sini. Update 22 Maret 2015 Still4given (member ditaudio.com) yang ingin membuat amplifier ini, mengalami masalah pengaturan arus bias karena memakai transistor Q4 yang berbeda dengan schematic di atas. Oleh karena itu saya memodifikasi rangkain bias servo untuk mengakomodasi berbagai macam transistor untuk Q4, contohnya: 2SC3423, 2SC3503, MJE340. Schematicnya ada di bawah ini:

Still4given memakai 2SC3423 pada Q4 dan trimpot 200 Ohm. Menurutnya rangkaian bias servo sebenarnya bisa bekerja dengan Q4 memakai 2SC3423 tanpa modifikasi lainnya. Ini hasinya implementasinya:

Komentarnya bisa dibaca di sini.
Berbagai macam kerusakan mungkin akan terjadi saat pengoperasian amplifier. Agar amplifier tidak menyebabkan kebakaran atau merusak speaker maka diperlu berbagai macam proteksi. Jenis-jenis proteksi pada amplifier antara lain:
Kabel speaker kadang-kadang secara tidak sengaja juga bisa terhubungsingkat.
Untuk produk amplifier yang dijual di Eropa, dilakukan safety testing dengan menghubungsingkatkan emitor dan kolektor setiap transistor untuk mengetahui bahaya yang mungkin terjadi akibat hal tersebut.
Semua proteksi tersebut menyebabkan rancangan amplifier bertambah rumit dan harganya bertambah mahal. Seringkali juga mengurangi kualitas suaranya (cacat harmonic meningkat, dan sebagainya).
Proteksi terhadap speaker baik dengan relay mekanik maupun elektronik, umumnya seperti ini:

Amplifier untuk Public Address (PA) atau untuk musik live (audio pro) memiliki prioritas berbeda dalam merancang spesifikasinya. Prioritas itu umumnya adalah (dari yang tertinggi sampai yang terendah):

Bagian Input
Amplifier ini menggunakan topologi Lin, sehingga inputnya adalah penguat diferensial atau Long Tail Pair (LTP), yaitu T1 dan T2. Sumber arus bagi LTP didapat dari T3 dan T4, sebesar 4,2mA. Beban LTP menggunakan cermin arus emitter follower augmented (EFA) T5, T6, dan T7. R1 dan R2 untuk menaikkan slew rate namun penguatan tegangan pada LTP berkurang. R3 untuk mengatur tegangan DC offset amplifier ini. Dari LTP diumpankan ke VAS, T8 dan T18 dengan konfigurasi darlington atau biasa disebut beta enchanced VAS. Beban VAS adalah sumber arus T19 sebesar 10,66mA. Basis T19 diambil dari kolektor T4 melalui R16. Kolektor T4 ini tegangannya sekitar 1,3V sehingga sumber arus ini bisa menggunakan satu transitor. Karena T19 dan T19 melepaskan daya sekitar 460mW maka perlu pendingin kecil (pendingin transistor TO-220 yang paling kecil). T9 membatasi arus transistor VAS maksimal 20mA. Jika bagian output terjadi masalah transistor VAS tidak akan rusak.
Bagian Output
Output amplifier ini memakai topologi double emitter follower yang mudah diimplementasikan, yaitu pasangan T12 dan T14 yang paralel dengan T15 dengan T13 dan T16 yang paralel dengan T17. Transistor driver T12 dan T13 bisa diberi pendingin terpisah atau menjadi satu dengan pendingin transistor T14, T15, T16, dan T17. Sebagai penstabil arus kolektor transistor output digunakan Q3 yang harus dipasang di pendingin utama. Arus kolektor transistor output diatur oleh R20 yaitu sebesar 55mA. Transistor output diproteksi oleh T10, T11, D4, D5, D6, D7, R41, R42, R43, R44, dan R45 yang membentuk multiple slope V-I protection. Proteksi ini tidak terpengaruh terhadap tegangan catu daya. Rangkaian ini akan mendeteksi beban amplifier dan membatasi arus transistor output berdasarkan besarnya beban amplifier.
Kompensasi
Kompensasi amplifier ini menggunakan Transitional Miller Compensation(TMC). Rangkaiannya terdiri dari C2, C3, dan R22. Kompensasi TMC lebih unggul daripada kompensasi Miller biasa yang menggunakan satu kapasitor. Cacat harmonik pada frekuensi tinggi menjadi berkurang. Phase Margin sebesar 67 derajat dan Gain Margin sebesar 12 dB, jadi amplifier ini stabil.
Spesifikasi
Berdasarkan simulasi didapatkan spesifikasi sebagai berikut:
Jika tanpa memakai proteksi pada bagian output, THD akan turun
sekitar 10 kalinya. Namun THD sebesar ini masih jauh lebih baik
dibandingkan amplifier kit-kit lokal. Slew rate amplifier ini sebesar
35V/µS sehingga power bandwidth mencapai 118 kHz. Daya maksimum sebesar
270 Watt rms pada 4 Ohm. Untuk penggunaan speaker 2 Ohm, harus ditambah
satu pasang lagi transistor output, namun THD nya akan naik cukup
tinggi.
Update 7 April 2014
R43 dan R44 diganti menjadi 1K2 untuk memperbaiki performa proteksi bagian output. R46 diganti menjadi 100 Ohm agar transistor driver selalu dalam kondisi bias kelas A. Adapun perubahan tersebut menghasilkan performa sebagai berikut.
Cacat harmoniknya menjadi sedikit naik.
Slew rate nya turun menjadi 21V/µS.
Update 9 Februari 2015
Oleh karena adanya pengakuan seseorang pada suatu group di sosial media, bahwa dia sudah berhasil mengimplementasikan amplifier ini dan merasa puas hasilnya, maka saya terdorong untuk meningkatkan kualitasnya. Setelah saya punya beberapa pengalaman dalam mengimplementasikan rancangan dengan slew rate yang tinggi, maka saya memiliki keyakinan kuat bahwa implementasi amplifier dengan slew rate yang tinggi tidak terlalu sulit. Hanya butuh ketelitian dalam pembuatan PCB-nya agar amplifier stabil.
Perbaikan kali ini yang utama pada rangkaian kompensasinya agar slew rate nya meningkat. Juga penggantian transistor driver yang lebih baik yang memiliki fT yang tinggi sehingga THD pada frekuensi tinggi bisa lebih kecil lagi. Pada outputnya diberi proteksi tegangan balik dari speaker yang berupa dioda, karena speaker memiliki induktansi yang cukup besar. Rangkaiannya ada di bawah ini.

Hasil Simulasi
Phase Margin = 73 derajat
Gain Margin = 10 dB
Slew Rate = 62 V/µS
PSRR pada 1kHz = 89 dB
Layout Yang Disarankan

Update 16 Oktober 2015
Saya perbaiki layout PCB nya seperti ini.



Hasil Implementasi
Teman saya telah berhasil membuat amplifier ini dan mengirimkan fotonya kepada saya untuk di muat di blog ini. Tipe transistor final diganti dengan tipe lain, ternyata arus bias tidak bisa kecil. Setelah R27 diganti dengan resistor 820 Ohm, maka arus bias bisa diatur sebesar spesifikasi yang saya sebutkan di atas.

Review-nya bisa dilihat di group Facebook “DIY Indonesia”.
Untuk menguatkan sinyal audio dengan akurat diperlukan amplifier yang bebas dari segala macam cacat. Sayangnya tidak ada amplifier yang ideal. Berbagai macam cacat dihasilkan oleh amplifier karena ketidaklinierannya. Jenis-jenis cacat pada audio amplifier adalah:
Misalnya sinyal sinus 19kHz dan sinus 20kHz diberikan pada masukan amplifier, maka amplifier itu akan mengasilkan frekuensi 19kHz, 20kHz, 38kHz (harmink ke-2 dari 19kHz), 40kHz (harmonik ke-2 dari 20kHz), 57kHz (harmonik ke-3 dari 19kHz), 60kHz (harmonik ke-3 dari 20kHz), dan seterusnya dari frekuensi harmonik kedua sinyal sinus tersebut. Selain itu juga dihasilkan frekuensi 1 kHz ( 20kHz – 19kHz), 2kHz (40kHz – 38kHz), 3kHz (60kHz – 57KHz), dan seterusnya yang merupakan perbedaan dari frekuensi dasar kedua sinyal sinus dan harmonik-harmoniknya.
Frekuensi-frekuensi hasil dari perbedaan kedua frekuensi dasar dan harmonik-harmoniknya inilah yang disebut InterModulation distortion atau cacat intermodulasi.
Cacat intermodulasi berguna untuk mengetahui ketidaklinieran audio amplifier yang memiliki lebar jalur frekuensi yang tidak terlalu lebar atau alat ukurnya yang tidak memiliki lebar jalur frekuensi yang lebar. Misalnya jika amplifier memiliki lebar jalur frekuensi 10Hz sampai 30kHz, maka THD pada 20kHz tidak bisa diukur dengan akurat, karena frekuensi harmoniknya akan teredam.
Cacat ini disebabkan oleh impedansi keluaran yang tidak nol dan umpan balik negatif yang besar. Audio amplifier mengendalikan speaker yang menghasilkan sinyal listrik jika membrannya bergerak (seperti microphone), biasa disebut back electromotive force (emf). Sinyal back emf ini akan mengacaukan sinyal umpan balik sehingga menghasilkan cacat intermodulasi.
Data String di EEPROM
Untuk menyimpan data string di EEPROM pada platform Arduino, caranya sangat sederhana, yaitu:
#include <EEPROM.h>
#include <avr/pgmspace.h>
//data string yang disimpan pada memori FLASH
prog_char text1[] PROGMEM = “INI DATA STRING YANG DISIMPAN”;
//variable untuk menyimpan string
char text2[64];
//variable untuk counter
int num;
//variable untuk jumlah karakter
int length;
//copy data string dari memori FLASH ke RAM
strcpy_P(text2, (char*) text1);
//variable num diisi alamat awal EEPROM, misalnya 6
num = 6;
length = 30;
//tulis banyaknya karakter ke EEPROM
EEPROM.write(num++, length);
//tulis data string
for (int i=num;i < (num + length);i++)
{
EEPROM.write(i, (int) text2[i-num]);
}
Sedangkan untuk membaca kembali data string tersebut dari EEPROM, adalah sebagai berikut:
#include <EEPROM.h>
#include <avr/pgmspace.h>
//variable untuk menyimpan string
char text2[64];
//variable untuk counter
int num;
//variable untuk jumlah karakter
int length;
//asumsi EEPROM tersebut sudah ditulis dgn program di atas
//variable num diisi alamat awal EEPROM
num = 6;
//baca jumlah karakter dari string
length = EEPROM.read(num);
num++;
//baca data string dari EEPROM ke RAM
for (int i=num;i<(num+length);i++)
{
text2[i-num] = (char) EEPROM.read(i);
}
Semoga trik singkat ini bermanfaat.
Resistor Dan Kapasitor
Untuk mencapai performa yang mendekati hasil simulasi, salah satunya ditentukan dengan pemilihan komponen yang tepat. Resistor dan kapasitor tidaklah ideal hanya murni memiliki resistansi/tahanan atau kapasitansi. Mereka memiliki banyak tipe dengan bahan dan proses pembuatannya yang berbeda-beda sehingga memiliki karakteristik yang berbeda. Di sini akan dibahas karakteristik seperti apa komponen yang dibutuhkan untuk menghasilkan rangkaian audio yang low noise dan low distortion (cacatnya kecil).
Resistor
Resistor yang umum dipakai pada rangkaian audio umumnya dari bahan karbon, thick film, thin film atau metal film, metal foil, dan wire wound (gulungan kawat/resistor daya besar atau oleh orang awam disebut resistor kapur).
Ada dua karakteristik utama yang membedakan resistor-resitor tersebut, yaitu koefisien tegangan dan koefisien suhu. Koefisien tegangan (VCR) adalah besarnya perubahan nilai tahanan yang disebabkan oleh perubahan tegangan pada resistor tersebut. Satuannya adalah ppm/V. Sedangkan koefisien suhu (TCR) adalah besarnya perubahan nilai tahanan yang disebabkan oleh perubahan suhu pada resistor tersebut. Satuannya adalah ppm/ᵒC. (ppm = parts per million = bagian persejuta).
Adanya tegangan pada resistor mengakibatkan suhu resistor tersebut akan naik.
Resistor karbon memiliki toleransi dari 5% – 20%, TCR dari 150 – 1000 ppm/ᵒC, makin kecil nilai tahanannya makin besar TCR –nya. Resistor ini memiliki modulation noise dan VCR yang lebih tinggi daripada resistor tipe lain. Sangat tidak disarankan untuk rangkaian audio, kecuali untuk amplifier gitar yang memang diinginkan cacat harmonik yang tinggi.
Resistor thick film popular digunakan di semua rangkaian elektronik. Resistor ini memiliki toleransi yang baik, yaitu dari 0,1% – 2%. TCR –nya dari 100 – 250 ppm/ᵒC dan VCR –nya biasa saja sekitar 10 ppm/V (berbeda-beda tiap pabrik). Modulation noise –nya pun tidak terlalu tinggi.
Resistor thin film atau metal film memiliki performa yang lebih tinggi dibandingkan dengan resistor thick film, namun harganya lebih mahal. Resistor ini memiliki toleransi yang sangat rendah dari 0,02% – 1%. TCR –nya umumnya berkisar dari 5 – 25 ppm/ᵒC, tapi ada yang mencapai 2 ppm/ᵒC. VCR –nya dari 0,1 – 1 ppm/V dan modulation noise sangat kecil.
Resistor metal foil sangat bagus digunakan untuk aplikasi yang hanya ada tegangan DC. Dan harganya paling mahal. Toleransinya sangat kecil mencapai 0,001% dan TCR –nya juga sangat kecil mencapai 0,05 ppm/ᵒC. VCR –nya luar biasa kecil mencapai kurang dari 0,1 ppm/V dan modulation noise sangat kecil. Namun ada kekurangan pada resistor ini, yaitu pada frekuensi rendah cacat yang dihasilkan cukup tinggi.
Resistor wire wound boleh dikatakan tidak memiliki VCR. Resistor ini memiliki induktansi internal yang tinggi sehingga harus hati-hati memakainya dalam rangkaian audio.
VCR resistor ini akan menghasilkan cacat harmonic dengan harmonic ke-3 yang dominan. Sedangkan TCR yang dipengaruhi juga oleh daya yang di-disipasi-kan/dibuang ole resistor akan meningkatkan cacat harmonik pada frekuensi sekitar 5 – 200 Hz. Untuk mengurangi efek VCR bisa dengan cara menseri resistor-resistor. Dan untuk mengurangi efek TCR bisa memakai resistor dengan rating daya yang besar.
Untuk rangkaian audio sebaiknya hindarkan pemakaian resistor metal foil karena performa pada sinyal AC tidak baik. Sedangkan untuk resistor chip atau SMD gunakan ukuran 1206. Gunakan resistor thin metal atau metal film jika tegangan DC cukup besar pada resistor tersebut.
Kapasitor
Kapasitor yang umum digunakan pada rangkaian audio di jalur sinyal memiliki bahan dielektrik bermacam-macam, yaitu polymer film (PET, PEN, PPS, PP, PS, dan PTFE), keramik (Z5U, X7R, NP0, dan Hi-K), (silver) mica, dan glass.
Polystyrene (PS) memiliki TCR yang kecil sekitar 100 ppm/ᵒC dan dapat meleleh pada suhu 85 ᵒC sehingga mudah rusak akibat penyolderan yang terlalu lama. Polypropylene (PP) memiliki TCR yang kecil sekitar 250 ppm/ᵒC dan dapat meleleh pada suhu 105 ᵒC.

Polypropylene.
Polymer film ada 2 jenis yaitu metal film dan foil film. Foil film memiliki ESR (Equivalent Series Resistance) yang lebih kecil dan mampu menahan arus kejut (surge) yang lebih tinggi. Sedapat mungkin gunakan kapasitor foil film (misalnya aluminium foil) pada jalur sinyal audio.

MKP (Polypropylene dengan konstruksi metal film)

MKP (Polypropylene dengan konstruksi copper foil)
Kapasitor keramik sebaiknya dihindarkan karena memiliki VCR yang tinggi, kecuali tipe NP0 atau COG yang memiliki TCR yang sangat kecil yaitu dari 15 – 30 ppm/ᵒC. Kapasitor jenis ini sering digunakan pada kompensasi di amplifier (kompensasi Miller, TPC, TMC, lead, lag, dll).
Kapasitor mica atau silver mica pada jaman dulu banyak dipakai di rangkaian audio karena TCR yang sangat kecil, namun adanya keramik NP0 atau COG yang lebih murah, maka kapasitor mica jarang dipakai. Sayangnya toko komponen elektronik di Indonesia yang saya tanya belum ada yang tahu apa itu keramik NP0 atau COG, sehingga saya masih memakai kapasitor silver mica ini.

Silver mica.
Kapasitor glass memiliki VCR yang hampir nol. Tidak memiliki efek penuaan (nilainya berubah dengan bertambahnya usia kapasitor). TCR –nya lebih tinggi daripada kapasitor keramik NP0.
Rangkaian audio dengan performa tinggi bisa dicapai salah satunya dengan memilih komponen yang tepat untuk tiap-tiap fungsi pada rangkaian tersebut. Karena tiap fungsi membutuhkan karakteristik yang berbeda-beda. Perhatian atas detail ini yang memungkinkan dicapainya rangkaian audio yang memiliki low noise dan low distortion.
Bacaan lebih lanjut:
Capacitor 1
Capacitor 2
Capacitor 3
Kestabilan Arus Bias Pada Amplifier Kelas AB
Saat amplifier bekerja pada kelas AB maka saat tidak ada sinyal input, transistor final mengalirkan sedikit arus pada kolektor jika memakai transistor bipolar atau pada drain jika memakai transistor mosfet. Ini sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya. Namun arus kolektor dan arus drain (kecuali lateral mosfet) ini terpengaruh suhu karena VBE (tegangan basis – emitor) dan VGS (tegangan gate – source) memiliki koefisien suhu. Koefisien suhu VBE ini sebesar -2,2 mV/ᵒC dan VGS pada vertical mosfet sebesar -4 mV/ᵒC sampai -6 mV/ᵒC. Makin tinggi suhunya, makin kecil VBE dan VGS sehingga arus kolektor ataupun arus drain juga makin besar.
Makin bertambah besar arus bias ini terhadap suhu, bisa membahayakan transistor dan mengakibatkan cacat harmonic meningkat pada transistor bipolar. Untuk itu digunakan bias servo yang juga berguna untuk mengatur tegangan bias. Bias servo ini sering disebut VBE multiplier yang dipasang pada pendingin transistor yang distabilkan arus biasnya.
Pada amplifier untuk public address (PA), seringkali transistor final bekerja pada kelas B yang arus biasnya nol atau kecil sekali. Untuk amplifier kelas B tidak diperlukan bias servo.
Bias Servo Pada Konfigurasi Output CFP (Complementary Feedback Pair)
Contoh bias servo pada CFP atau Sziklai adalah sebagai berikut.

Q3 adalah VBE multipler atau rangkaian pengkali tegangan VBE. Tegangan kolektor – emitor Q3 besarnya adalah VBE x (R4/R3 + 1). Agar Q1 dan Q4 mengalirkan arus pada kolektornya sehingga Q2 dan Q5 juga akan mengalirkan arus pada kolektornya, diperlukan tegangan sekitar 2x VBE. Sehingga VBE multiplier ini memiliki koefisien suhu 2 x -2,2 mV/ᵒC yang besarnya sama dengan koefisien suhu Q1 ditambah koefisien suhu Q4. Arus kolektor Q1 dan Q4 akan stabil terhadap suhu jika suhu Q3, Q1, dan Q4 sama. Oleh karena itu Q3, Q1, dan Q4 ditempelkan pada satu pendingin yang terpisah dengan pendingin transistor final Q2 dan Q5.
Bias Servo Pada Konfigurasi Output Double EF (Emitter Follower)
Contoh bias servo pada Double EF adalah sebagai berikut.

Agar Q2 dan Q5 mengalirkan arus bias, maka diperlukan tegangan VBE multiplier sekitar 4x VBE, sehingga koefisien suhu tegangan kolektor – emitor Q3 sebesar 4x -2,2 mV/ᵒC. Koefisien suhu tersebut sama dengan jumlah koefisien suhu Q1, Q2, Q4, dan Q5. Sehingga Q3, Q1, Q2, Q4, dan Q5 harus dipasang pada pendingin yang sama agar suhunya selalu sama.
Bias Servo Pada Mosfet
Untuk lateral mosfet tidak diperlukan bias servo karena koefisien suhu lateral mosfet nol pada arus drain sekitar 150 mA. Sedangkan pada vertical mosfet diperlukan. Contoh bias servo pada vertical mosfet adalah sebagai berikut.

Umumnya vertical mosfet mulai bekerja jika tegangan gate – source (VGS) nya sekitar 4V (ada yang 0,8V tapi jarang). Pada rangkaian VBE multiplier sengaja disisipkan transistor Q1 yang difungsikan sebagai dioda agar koefisien suhunya turun. Jika tidak ada Q1 maka koefiesien suhu tegangan kolektor – emitor Q3 sebesar 8 / VBE x -2,2 mV/ᵒC. Jika VBE sebesar 0,65V maka koefisien suhunya sebesar -27mV/ᵒC. Sedangkan koefisien suhu VGS IRFP240 adalah -6 mV/ᵒC pada arus drain 150 mA, jadi total koefisien suhu kedua mosfet tersebut adalah -12 mV/ᵒC.
Koefisien suhu tegangan VAS+ dan VAS- sebesar 8 / (VBE + VBE) x -2,2 mV/ᵒC. Koefisien suhunya hanya dikalikan -2,2 mV/ᵒC, karena hanya Q1 yang dipasang pada pendingin M1 dan M2. Jika VBE sebesar 0,65V maka koefisien suhunya sebesar -13,5 mV/ᵒC.
Untuk konfigurasi output yang lain diperlukan bias servo yang berbeda. Pada prinsipnya koefisien suhu rangkaian bias servo, harus sama atau sedikit lebih kecil daripada rangkaian yang dibiasnya. Ini akan menjamin arus bias stabil terhadap suhu atau setidaknya jika suhu naik arus bias hanya akan sedikit turun.
DC Offset
Speaker tidak boleh diberi tegangan DC karena akan menggeser coil/spul-nya. Ini menyebabkan spul tidak bisa bergerak secara maksimal dan menghasilkan suara yang cacat. Tegangan DC yang cukup tinggi bisa membakar spul. Oleh karena ini harus dihindari tegangan DC pada speaker.
Kebanyakan amplifier memakai tegangan ganda (positif-ground-negatif) dan menghubungkan keluaran amplifier langsung ke speaker tanpa kapasitor. Pada keluaran amplifier bisa mengandung tegangan DC walaupun cukup kecil dan tidak berbahaya bagi speaker. Tegangan DC pada keluaran amplifier ini disebut DC offset.
Bagaimana meminimalkan DC offset pada sebuah rancangan amplifier? Pada artikel ini akan dibahas caranya, khususnya pada amplifier yang memakai topologi Lin.

Pada gambar diatas adalah input amplifier yang memakai penguat diferensial atau LTP. Penguat diferensial tersebut dibentuk oleh Q1 dan Q2. Oleh cermin arus Q3 dan Q4, arus kolektor Q1 dan Q2 dipaksa agar sama besarnya. Jika hFE Q1 dan Q2 sama, maka arus basis Q1 dan Q2 juga sama. Arus basis Q1 mengalir melalui R2 dari keluaran amplifier dan arus basis Q2 mengalir melalui R1 dari ground. Jika R1 dan R2 nilainya sama dan VBE dari Q1 dan Q2 sama, maka tegangan pada keluaran amplifier menjadi 0V.
Namun tidak ada hFE dan VBE (tegangan basis-emitor) dari transistor yang sama tipenya yang nilainya sama persis. Juga nilai resistor R1 dan R2 tidak akan sama persis karena adanya toleransi komponen tersebut. Hal ini mengakibatkan tegangan DC pada amplifier tidak 0V. DC offset ini bisa bernilai plus atau minus beberapa ratus mili Volt. Namun amplifier yang dirancang dengan baik, DC offsetnya harus di bawah plus atau minus 50mV.
Untuk memperkecil DC offset, gunakan transistor yang memiliki hFE yang tinggi pada Q1 dan Q2. Ini akan menyebabkan arus basis menjadi kecil. Juga pilih nilai R1 dan R2 yang cukup kecil. R1 dan R2 tidak boleh terlalu kecil karena impedansi masukan amplifier salah satunya ditentukan oleh R1. Umumnya R1 dan R2 dipilih antara 10K sampai 22K Ohm.
VBE dari transistor bipolar memiliki koefisien suhu sebesar -2,2mV/ᵒC. Makin tinggi suhu transistor makin kecil VBE. Jika suhu Q1 dan Q2 tidak sama, maka arus basisnya pun menjadi tidak sama. Untuk mempertahankan agar arus basis Q1 dan Q2 tetap sama walaupun suhunya berubah-ubah, maka Q1 dan Q2 harus ditempelkan badannya sehingga suhu Q1 dan Q2 selalu sama.
Pengaturan DC Offset dengan trimpot
DC offset juga bisa diatur agar mendekati 0V dengan trimpot seperti gambar di bawah ini.

Pengaturan DC Offset dengan DC Servo
DC Servo adalah rangkaian yang “memaksa” keluaran amplifier selalu mendekati 0V, walaupun pada input amplifier diberi tegangan DC dalam jangkauan tertentu. Dan meskipun transistor pada penguat diferensial suhunya tidak sama, DC offset tetap selalu mendekati 0V. Dengan memakai DC Servo ini, DC offset bisa serendah plus atau minus beberapa µV. Input amplifier pun tidak perlu diberi coupling kapasitor atau istilahnya DC coupled.
Contoh rangkaian DC servo ada di bawah ini.

DC Servo dibentuk dari op-amp U1A dan U1B. U1A sebagai integrator dan U1B sebagai inverting amplifier dengan penguatan tegangan -1x.
Mengatur Arus Bias Pada Amplifier Kelas AB
Banyak
anggapan bahwa cara mengatur bias transistor (bipolar) final adalah
dengan mengukur tegangan antara basis dan emitor atau antara basis dan
basis transistor final pasangannya (NPN dan PNP). Tegangan antara basis
dan emitor disebut VBE. Transistor saat mulai mengalirkan arus kolektor,
tegangan VBE nya mulai dari 0,5V sampai 0,6V. Saat terjadi saturasi
(arus kolektor tidak bisa bertambah lagi/maksimal), tegangan VBE nya
sekitar 1V. Tegangan VBE ini besarnya bervariasi bahkan pada satu tipe
transistor. Padahal yang dicari adalah arus kolektor, walaupun ada
hubungannya antara arus kolektor dengan tegangan VBE, namun karena
tegangan VBE bervariasi maka tidak bisa diandalkan pengukurannya.
Orang yang pertama kali mempublikasikan penelitian tentang arus bias optimal, untuk mendapatkan cacat crossover
terkecil adalah Dr. Bernard M. Oliver, presiden direktur perusahaan
Hewlett Packard bidang riset dan pengembangan. Penelitian ini
diterbitkan tahun 1971 pada jurnal perusahaan tersebut.
Pada
artikel ini akan saya bahas secara sederhana penelitian tersebut. Saya
berikan simulasi rangkaian sederhana transistor final emiter follower di bawah ini.
Gambar 1. Rangkaian simulasi
Jika
saat tidak ada sinyal arus kolektor Q1 dan Q2 adalah nol, maka ini
disebut kelas B. Jika diberi sinyal akan terjadi cacat crossover seperti
ini.
Gambar 2. Sinyal input
Gambar 3. Sinyal output
Pada gambar 3 terlihat bentuk sinyal output tidak sempurna saat tegangan melewati titik 0V. Ini disebut cacat crossover. Lalu berapa arus kolektor yang optimal agar cacat crossover ini menjadi minimal? Menurut penelitian tersebut, juga dijabarkan secara lebih sederhana pada buku “Designing Audio Power Amplifiers” karangan Bob Cordell, cacat crossover
minimal saat tegangan pada R adalah 26mV. R yang dimaksud adalah total
resistansi emitor (R1) ditambah resistansi internal emittor (RE)
ditambah resistansi efektif basis dilihat pada emitor (R3/hFE). RE =
26mV/IS (eVg/kT – 1) pada 20 derajat Celsius ,
pengertian tentang RE silakan baca pada buku teks elektronika yang
digunakan sebagai bahan ajar di universitas. Karena adanya RE dan R3
(jika dipasang), maka arus bias optimal terjadi saat tegangan pada R1
sedikit lebih kecil dari 26mV. Jika arus bias ini diperbesar maka cacat
akan meningkat dan akhirnya cacat crossover akan hilang saat kedua
transistor dibias menjadi kelas A.
Gambar 4. Arus bias optimal
Menurut buku “Audio Power Amplifier Design”
edisi ke-6 karangan Douglas Self, arus bias optimal nilainya berkurang
jika transistor final di paralel. Makin banyak yang diparalel makin
kecil arus bias optimalnya dibandingkan dengan nilai optimal jika tidak
diparalel. Namun tidak disebutkan rumus pastinya.
Arus
bias optimal untuk amplifier kelas AB dengan transistor mosfet, baik
tipe lateral maupun vertikal berbeda dengan transistor bipolar. Pada
transistor mosfet ada kencenderungan makin besar arus bias (arus drain),
makin kecil cacatnya. Perancang amplifier harus menentukan sendiri
nilai optimalnya dengan mempertimbangkan efisiensinya.
Pengaturan arus bias idealnya dengan Distortion Meter.
Pada sinyal input kita berikan sinyal generator dengan bentuk sinus
yang cacat harmoniknya kecil. Frekuensi sinyal generator adalah 1kHz.
Kemudian pada keluaran amplifier kita berikan beban resitor daya 8,2 Ohm
dan pembagi tegangan (attenuator) untuk diumpankan ke Distortion Meter. Tunggu agar pendingin amplifier stabil suhunya dan atur arus bias minimal. Perlahan-lahan naikkan arus bias sambil kita lihat Distortion Meter. Angka pada Distortion Meter akan turun lalu naik kembali. Atur arus bias saat pada Distortion Meter menunjukkan angka paling kecil.
Untuk
mengukur cacat harmonik, bisa juga memakai sound card yang cacat
harmoniknya kecil dengan memakai software tertentu, misalnya ARTA.
Jurnal penelitian tersebut bisa di download di sini.
Simple Pre-amp
Karena adanya casing amplifier yang membutuhkan volume control dan input selector, maka saya bikin rancangan pre-amp yang sederhana. Input selector memakai relay 12V agar perkabelan menjadi rapi. Keluaran dari input selector langsung ke potensiometer sebagai volume control. Dari volume control ke op-amp sebagai penguatan tegangan yang penguatannya sekitar 4x. Rangkaiannya bisa dilihat di bawah ini.

Op-amp yang saya gunakan adalah LM4562, namun bisa memakai op-amp lain asalkan slew rate nya lebih besar dari 6V/uS dan low noise. Potensiometernya harus yang bertipe logaritmik. Penguatan tegangannya bisa diganti dengan merubah nilai R4 dan R7, sesuaikan dengan sensitivitas input amplifier yang digunakan.
Implementasinya seperti ini.


Blameless 150
Topologi Lin sangat terkenal dan banyak dipakai baik pada amplifier DIY dan pabrikan. Rancangannya mudah dipahami dan bisa menghasilkan cacat harmonic (THD) yang sangat kecil. Rancangan topologi Lin yang paling terkenal di dunia DIY adalah P3A yang dirancang oleh Rod Elliot. Bahkan kit legendaris di Indonesia yaitu OCL 150 masih terkenal sampai sekarang yang rancangannya lebih kuno daripada P3A. Kepopuleran OCL 150 sangat mungkin disebabkan karena pembuat kit amplifier di Indonesia kurang mengikuti perkembangan tehnologi dan kurang menguasai perancangan amplifier, sehingga jarang ada kit amplifier yang lebih baik. Setelah P3A, amplifier DX series rancangan Destroyer X menjadi terkenal. Amplifier DX ini rancangannya sudah lebih modern, namun cacat harmonik (THD) pada frekuensi 20 kHz belum mendapatkan perhatian sampai saat Samuel Gorner memberikan komentar pada buku Douglas Self. Pada buku “Audio Power Amplifier Design” edisi ke-6, Douglas Self memuat komentar Samuel Gorner tersebut. Rancangan amplifier DIY dengan topologi Lin yang paling baru adalah Honey Badger yang dirancang oleh Ostripper. Sedangkan kit amplifier legendaris yang memakai topologi ini adalah AKSA 55 yang artikelnya dimuat pada blog ini.
Saya tertarik untuk mengimplementasikan rancangan amplifier dengan topologi Lin ini dalam amplifier yang sebenarnya. Maka saya buat simulasinya terlebih dahulu. Konsep amplifier ini adalah bagaimana membuat amplifier dengan daya maksimal sekitar 150 watt rms pada 4 Ohm dengan cacat harmonik (THD) sekecil-kecilnya dan slew rate setinggi-tingginya. Saya pilih daya maksimal 150 watt karena lebih mudah implementasinya dan daya sebesar itu cukup buat sebagian besar orang buat digunakan di rumah sebagai home audio walaupun bisa juga untuk tweeter amplifier pada aplikasi public address. Daya sebesar ini membutuhkan catu daya sebesar +-45V. Rancangannya ada di bawah ini.

Nilai komponennya belum bisa saya berikan karena amplifier ini masih di test dan mungkin akan saya komersialkan PCB atau KIT nya.
Cara kerja rancangan ini sederhana. Q11 dan Q12 adalah penguat diferensial atau LTP dengan sumber arus tetap Q5 dan Q10 sebesar 4mA. Beban LTP adalah cermin arus EFA yang dibentuk oleh Q13, Q14, dan Q15. Sedangkan bagian VAS menggunakan enhanced beta (istilah dari Douglas Self) yaitu Q1 dan Q6. Q7 digunakan untuk membatasi arus kolektor Q1 jika pada bagian output terjadi masalah. Pada operasi normal Q7 tidak bekerja. Beban VAS memakai sumber arus tetap sebesar 8,8mA oleh Q2. Bagian output memakai double emitter follower yang mudah implementasinya (Q16, Q17, Q18, dan Q19). Agar performanya mendekati triple emitter follower, maka digunakan transistor driver yang memiliki hFE yang sangat tinggi. Kompensasi amplifier ini memakai TMC agar cacat harmonik pada frekuensi 20 kHz kecil. Kompensasi TMC dibentuk dari C23, C24, dan R40. Pada bagian input diberi capacitance multiplier Q8 dan Q9 agar PSRR nya meningkat.
Hasil simulasinya adalah sebagai berikut:
Phase Margin 66 derajat. Gain Margin 8 dB.
THD pada 71W/8Ohm, 1kHz -> 0.000318%
THD pada 71W/8Ohm, 20kHz -> 0.000307%
THD pada 142W/4Ohm, 1kHz -> 0.000323%
THD pada 142W/4Ohm, 20kHz -> 0.000584%
THD pada 182W/2Ohm, 1kHz -> 0.000481%
THD pada 182W/2Ohm, 20kHz-> 0.001595%
PSRR pada 100Hz -> 118 dB
Slew Rate sebesar 90V/µS
Walaupun cacat harmonik pada beban 2 Ohm sangat kecil, tidak dianjurkan membebaninya dengan impedansi sekecil 2 Ohm karena bisa menyebabkan transistor final bekerja di luar batas kemampuannya (melanggar Safe Operating Area / SOA). Jika ingin memakai speaker 2 Ohm disarankan menambah transistor final menjadi 3 pasang atau menggunakan transistor final yang memiliki power dissipation sebesar 230 Watt seperti MJL4281A dan MJL4302A.
Ini foto implementasinya.

Prototype bisa berfungsi dengan baik. Namun kualitas frekuensi tinggi masih kalah dengan VSSA. Setelah berkali-kali melakukan simulasi agar mendapatkan cacat harmonik terendah pada frekuensi 20 kHz, maka hasil simulasi langsung diterapkan. Hasilnya kualitas frekuensi tinggi meningkat. Saya putuskan rancangan ini layak untuk dijadikan kit.
Hasil simulasi terbaru:
THD pada 71W/8Ohm, 20kHz -> 0.000287%
THD pada 142W/4Ohm, 20kHz -> 0.000537%

Test dengan sinyal kotak 60kHz dengan capacitor filter pada input dilepas dan output pada keluaran amplifier sebelum inductor. Beban resistor daya 8,2 Ohm. Tegangan output sebesar 6Vpp. Terlihat sinyal output sama persis bentuknya dengan sinyal input. Sayangnya frekuensi generator yang digunakan kurang baik. Namun ini sudah menunjukkan bahwa slew rate amplifier ini sangat tinggi dibandingkan dengan kit amplifier lainnya.
Power Supply

Blameless 150 ini menggunakan power supply +-45V DC. Trafo yang 32V CT 8A cukup, namun karena 8A tidak umum, maka digunakan yang 10A. Schematic power supply yang disarankan bisa dilihat di bawah ini.
Usahakan titik-titik ground sedekat mungkin, kalau bisa satu titik. Hubungan ke casing harus pada satu titik di casing tersebut. Kabel-kabelnya memakai ukuran AWG 18.
Speaker Protection
Seperti yang sudah dibahas pada artikel sebelumnya, kali ini saya akan implementasikan pada rangkaian yang sebenarnya. Rangkaian untuk melindungi speaker ini berdasarkan rancangan dari Douglas Self yang sudah saya sesuaikan dengan keperluan saya. Adapun fiturnya adalah:
– Tundaan waktu relay ON pertama kali dihidupkan.
– Relay OFF secepat-cepatnya begitu trafo diputus dari sumber listrik.
– Deteksi tegangan DC pada output amplifier.
– Saklar muting, bisa diganti dengan thermostat.
Schematicnya bisa dilihat di bawah ini:

Pertama kali rangkaian dihidupkan, R3 mengisi muatan C1 sehingga tegangan C1 naik dari 0V sampai 16,56V terus berhenti karena Q4 menjadi ON disebabkan adanya D1 dan D2. Waktu yang dibutuhkan untuk pengisian C1 sampai Q4 ON sekitar 4,7 detik. Makin besar nilai C1 makin lama waktu pengisiannya. Jika Q4 ON maka Q8 juga akan ON sehingga relay juga ON. Tipe relay yang digunakan adalah relay 12V dengan resistansi koil sekitar 400 Ohm.
Saat koil relay diberi arus listrik, maka terjadi tegangan balik EMF (Electromotive Force) yang besarnya sekitar -120V. Tegangan ini bisa menyebabkan transistor Q8 rusak. Umumnya pada koil relay diberi proteksi seduah dioda agar tegangan EMF ini menjadi -0,6V saja. Namun di sini diberi proteksi dioda penyearah dan diode zener 15V. Sehingga tegangan EMF pada koil relay sebesar -15,6V dan karena relay diseri maka total tegangan EMF menjadi -31,2V. Ini masih aman buat transistor Q8. Membiarkan tegangan EMF agak tinggi gunanya untuk mempercepat waktu ON relay.
Untuk mematikan relay saat tegangan listrik diputus digunakan D3 dan D4 sebagai penyearah. Jika ada tegangan AC maka transistor Q1 ON sehingga transistor Q2 menjadi OFF sehingga tegangan C1 tidak terganggu. Saat tidak ada tegangan AC, maka transistor Q1 OFF dan transistor Q2 OFF dengan sedikit tundaan oleh R5 dan C2. Diberi sedikit tundaan agar jika tegangan AC hilang sesaat atau turun sesaat karena sesuatu hal, maka transistor Q2 tetap ON.
Output amplifier difilter dengan R17, R18, C5, dan C6 agar yang keluar hanya tegangan DC nya saja. Tegangan DC ini dideteksi oleh transistor Q5 dan Q6 yang saya rancang agar membuat ON transistor Q7 jika tegangannya lebih besar dari 1,8V dan kurang dari -1,8V. Namun kenyataannya saya ukur batas tegangannya adalah 2,1V dan -1,8V. Ini karena toleransi komponen. Tegangan tersebut cukup untuk memproteksi speaker. Jika transistor Q7 ON, maka transistor Q3 juga ON lalu membuang muatan C1 melalui D12. Karena C1 kehilangan muatan maka relay menjadi OFF.
Transistor Q9 untuk mengurangi daya relay. Relay 12V biasanya tetap ON jika diberi tegangan minimal 7V. Namun agar respon ON relay cepat, relay diberi tegangan yang sedikit lebih tinggi. Saat transistor Q8 ON, transistor Q9 juga ON dan menghubungsingkatkan R12. Kemudian C4 diisi muatannya oleh R13. Saat tegangan C4 nilainya mendekati tegangan emitor transistor Q9, maka transistor Q9 menjadi OFF sehingga tegangan relay menjadi turun karena adanya R12.
Implementasinya ada dibawah ini.

Layout PCB



49 Watt Lateral Mosfet Amplifier
Beberapa keuntungan penggunaan Lateral Mosfet dalam audio amplifier adalah sebagai berikut:
- Lateral Mosfet memiliki temperature coefficient positif pada arus drain di bawah 200mA dan temperature coefficient negatif pada arus drain di atas 200mA (nilai tepatnya lihat datasheet masing-masing lateral mosfet tersebut). Hal ini menyebabkan tidak perlunya sensor suhu untuk membuat arus bias stabil. Jika arus drain di atas 200mA dan suhu naik maka arus drain akan turun.
- Lateral Mosfet aman terhadap secondary breakdown. Proteksi terhadapa lateral mosfet cukup dengan VI limiter.
- Lateral Mosfet sangat handal dan jarang rusak, namun proteksi dengan sekering terhadap arus lebih tidak boleh diabaikan.
- Tidak ada cacat karena pengaruh kecepatan ON/OFF pada kelas AB.
- Besarnya arus bias tidak kritis.
- Lateral Mosfet memiliki bandwidth yang jauh lebih lebar (>= 250 MHz) daripada transistor bipolar.
Namun selain keuntungan tersebut, lateral mosfet juga memiliki beberapa kerugian dibandingkan dengan transistor bipolar, yaitu:
- Arus bias lateral mosfet lebih tinggi, umumnya antara 100 – 200 mA untuk kelas AB.
- Resistansi drain – source yang cukup tinggi menyebabkan tegangan saturasi drain – source yang cukup besar. Ini menyebabkan maksimal daya yang dihasilkan untuk tegangan power supply yang sama, lebih kecil daripada transistor bipolar.
- Transkonduktansi (arus keluaran dibagi tegangan masukan) lateral mosfet lebih kecil, sehingga untuk penggunaan pada rangkaian yang sama, lateral mosfet kurang linier.
- Lebih rentan terhadap osilasi. Untuk meredam osilasi biasanya dipakai resistor pada gate. Kadang-kadang perlu rangkaian zobel yang sangat dekat dengan masing-masing kaki source, umumnya dengan 1 Ohm dan 1nF.
- Harga lateral mosfet sangat tinggi.
Implemansi amplifier yang sederhana namun berkualitas tinggi dengan menggunakan lateral mosfet adalah sebagai berikut.
Ini adalah amplifier dengan umpan balik
tegangan. Bagian input memakai LTP yang dibentuk oleh Q3 dan Q4. Sumber
arus LTP menggunakan Q1 dan Q2, yaitu sebesar 3mA. Kemudian beban LTP
memakai cermin arus Q7 dan Q8. R1 dan R2 menurunkan penguatan tegangan
LTP dan menaikkan slew rate nya. R7 dan R8 untuk mengatasi ketidaksamaan
VBE dari Q7 dan Q8.
Bagian VAS memakai konfigurasi darlington atau beta enhanced (istilah dari Douglas Self), yang dibentuk oleh Q9 dan Q6. Konfigurasi ini akan menurunkan cacat dibandingan dengan satu transistor. Beban VAS memakai sumber arus Q5 yang besarnya adalah 18,4mA. Arus sebesar ini adalah untuk men-drive kapasitansi gate-source lateral mosfet yang cukup tinggi. Sehingga akan menghasilkan slew rate yang tinggi. Q5 dan Q6 perlu dipasang pada pendingin. Jika arus VAS kecil maka lateral mosfet perlu di drive oleh transistor bipolar yang dikonfigurasikan sebagai emitter follower. Namun rancangan ini diusahakan sesederhana mungkin, jadi pemilihan arus VAS yang tinggi diutamakan.
Arus bias diatur oleh R16 sebesar 200mA. Cara pengaturan arus bias adalah dengan mengukur tegangan pada R23 atau R24 dengan sekering tidak dipasang. Setelah arus bias diatur, pasang kembali sekeringnya.
Penguatan tegangan sebesar 1 + (R19 / R13) yaitu 23x atau 27dB.
Hasil SimulasiBagian VAS memakai konfigurasi darlington atau beta enhanced (istilah dari Douglas Self), yang dibentuk oleh Q9 dan Q6. Konfigurasi ini akan menurunkan cacat dibandingan dengan satu transistor. Beban VAS memakai sumber arus Q5 yang besarnya adalah 18,4mA. Arus sebesar ini adalah untuk men-drive kapasitansi gate-source lateral mosfet yang cukup tinggi. Sehingga akan menghasilkan slew rate yang tinggi. Q5 dan Q6 perlu dipasang pada pendingin. Jika arus VAS kecil maka lateral mosfet perlu di drive oleh transistor bipolar yang dikonfigurasikan sebagai emitter follower. Namun rancangan ini diusahakan sesederhana mungkin, jadi pemilihan arus VAS yang tinggi diutamakan.
Arus bias diatur oleh R16 sebesar 200mA. Cara pengaturan arus bias adalah dengan mengukur tegangan pada R23 atau R24 dengan sekering tidak dipasang. Setelah arus bias diatur, pasang kembali sekeringnya.
Penguatan tegangan sebesar 1 + (R19 / R13) yaitu 23x atau 27dB.
Total Harmonic Distortion (THD)
|
Kondisi
|
0.001227%
|
30Watt rms, 8Ohm, 1kHz
|
0.025938%
|
30Watt rms, 8Ohm, 20kHz
|
Daya maksimal 49 Watt rms pada 8 Ohm atau 75 Watt rms pada 4 Ohm.
Retro Amplifier
Saat transistor ditemukan, rancangan amplifier meniru amplifier tabung dengan memakai transformator (trafo), baik pada input dan outputnya. Amplifier semacam ini bisa kita temukan pada radio jaman dulu dan masih dipraktekkan di sekolah pada tahun 1980-an. Kemudian disadari bahwa transistor memiliki penguatan arus yang besar dan bekerja pada tegangan yang jauh lebih rendah daripada tabung sehingga tidak ada alas an untuk penggunaan trafo pada jalur sinyalnya. Muncullah sebutan OTL (Output Transformator Less). Karena penggunaan tegangan power supply tunggal, maka penghilangan trafo menyebabkan speaker tidak bisa dihubungkan secara langsung ke amplifier. Tegangan output amplifier umumnya setengah dari tegangan power supply. Speaker dihubungkan dengan kapasitor (elco) untuk mencegah tegangan DC membakar spul speaker. Amplifier semacam ini popular pada tahun 1970-an.
Amplifier tersebut memakai satu transistor pada inputnya (singleton). Ini adalah salah satu contohnya dengan memakai transistor yang modern.

Transistor input Q8 dibias oleh diode zener D1 melalui R15. Basis Q8 sekitar 35,8V dengan R14 ke output yang berfungsi sebagai resistor umpan balik, maka tegangan output menjadi 33,7V hampir setengan tegangan power supply yang besarnya 70V. Q1 sebagai VAS dengan beban resistor R2 dan R6 yang di bootstrap menentukan besarnya arus kolektor VAS tersebut sebesar 5mA. Q2 sebagai VBE multiplier untuk memberikan arus bias pada transistor keluaran agar bekerja pada kelas AB. Arus bias diatur dengan R5 sebesar 16mA. Q3, Q4, Q6, dan Q7 dikonfigurasikan sebagai CFP atau Sziklai. Agar arus bias stabil terhadap suhu, Q2, Q3, dan Q4 harus dipasang pada satu pendingin kecil yang terpisah dari pendingin Q6 dan Q7.
C3 sebagai kompensasi Miller sengaja nilainya dipilih agak kecil agar slew rate nya tinggi. Agar amplifier lebih stabil dipasang C4 sebagai lead kompesasi.
Penguatan tegangan sebesar 1 + (R14/R13) yaitu 32,4 kali atau 30,2dB.
Hasil simulasi
Performa rangkaian ini yang di dapat dengan simulasi adalah sebagai berikut:
Phase Margin sebesar 88 derajat dan Gain Margin sebesar 13 dB. Jadi amplifier ini stabil.
| Total Harmonic Distortion (THD) | Kondisi |
| 0.002700% | 45 Watt rms, 8Ohm, 1kHz |
| 0.023482% | 45 Watt rms, 8Ohm, 20kHz |
AKSA 55 Dalam Simulasi
Amplifier AKSA 55 dirancang oleh Hugh Dean, orang Australia yang memiliki isteri orang Semarang, Jawa Tengah. Amplifier ini sangat terkenal pada waktu itu dan sampai sekarang masih dibicarakan. Rangkaiannya sederhana tapi Hugh Dean berhasil mengoptimalkannya, baik pemilihan nilai dan jenis komponen, perancangan jalur PCB dan tata letak komponen. Amplifier ini dijual berupa kit dan harganya cukup murah pada waktu itu. Namun banyak orang menganggap bahwa kualitas suaranya menyamai amplifier yang harganya berkali-kali lipat. Inilah contoh rancangan amplifier yang hebat.
Walaupun sudah cukup lama amplifier ini dibuat dan sekarang sudah tidak dijual lagi, tapi Hugh Dean tetap tidak mau membagi schematic AKSA 55 ke publik. Ia hanya memberikan rancangan konseptual yang beberapa nilai komponen tidak disebutkan. Rancangan konseptualnya ada di http://www.diyaudio.com/forums/everything-else/35899-attention-aksa-55-hugh-thinking-let-us-see-schematics-forum-34.html#post1652112
Saya akan mensimulasikan rancangan Hugh Dean tersebut, tentu saja dengan nilai komponen versi saya sendiri, karena saya belum pernah melihat schematic aslinya atau kit aslinya. Rancangan tersebut ada di bawah ini.

Saya tidak punya model transistor 2SC1819, maka saya ganti 2SC3503. Kriteria utama dari transistor VAS ini adalah nilai Cob yang rendah dan Early Voltage yang tinggi sehingga transistor untuk penguat video sangat cocok. Kemudian walaupun saya memiliki model transistor 2N5401 namun setelah saya ganti dengan BC560C menghasilkan performa yang lebih baik. Nilai R1 harus cukup tinggi agar PSRR tinggi tapi harus cukup rendah agar arus kolektor pada transistor LTP cukup tinggi agar menghasilkan slew rate yang tinggi. Kompromi dilakukan dengan memilih nilai R1 sebesar 15K ohm. Kemudian dicari nilai R2 agar arus kolektor Q1 dan Q2 sama sehingga THD menjadi minimal. R9 dan R10 menentukan arus kolektor dari Q3 agar mampu men-drive transistor output Q5, Q6, Q7, dan Q8 yang dikonfigurasikan sebagai emitter follower. Arus kolektor Q3 harus cukup tinggi sehingga slew rate nya tinggi, namun juga harus cukup rendah agar beban Q3 tidak terlalu rendah sehingga THD menjadi tinggi. Kompromi dilakukan dengan memilih arus kolektor Q3 sekitar 6,5mA.
Untunglah hFE dari Q5 dan Q6 cukup tinggi sehingga transistor VAS tidak terlalu terbebani.
Q4 sebagai sensor suhu agar arus kolektor Q7 dan Q8 stabil harus dipasang pada pendingin utama. Q3, Q5, dan Q6 tidak memerlukan pendingin. Q5 dan Q6 akan menjadi hangat, jika diberi pendingin cukup dengan pendingin yang paling kecil. Arus kolektor Q7 dan Q8 diatur oleh R8 sebesar 55mA sampai 60mA untuk meminimalkan cacat crossover.
Hasil simulasi adalah sebagai berikut.
Phase margin sebesar 81 derajat dan gain margin sebesar 14 dB. Jadi amplifier ini stabil.
THD pada 1 kHz dengan daya 39 Watt rms pada beban 8 ohm adalah 0.001531%.
THD pada 20 kHz dengan daya 39 Watt rms pada beban 8 ohm adalah 0.005736%.
Slew rate nya sebesar 35V/uS sehingga power bandwidth menjadi sekitar 185 kHz.
Amplifier ini menggunakan tegangan power supply sebesar +-35V sehingga daya maksimalnya menjadi 55 Watt rms pada 8 Ohm dan 70 Watt rms pada 4 Ohm. Walaupun amplifier sederhana ini menghasilkan performa yang cukup baik pada simulasi, namun diperlukan implementasi yang tepat agar performanya mendekati hasil simulasi. Mungkin hasil simulasi ini mendekati atau bahkan mungkin melebihi dari performa AKSA 55, tetapi tanpa pemilihan jenis komponen yang tepat dan perancangan tata letak komponen dan jalur PCB yang optimal, akan sulit menandingi kualitas suara AKSA 55.
Update 20 April 2014

Saya sedikit modifikasi rangkaian ini agar DC offset lebih kecil dengan merubah nilai resistor R3 dan nilai C6 disesuaikan dengan perubahan ini. Lalu ditambahkan C14 agar perubahan kondisi dari aktif ke pasif Q7 dan Q8 lebih cepat. Hasilnya THD sedikit lebih kecil.
Contoh Layout


Saya bangga artikel ini mendapat perhatian dari perancang aslinya yaitu Hugh Dean. Ini komentar beliau. Salah seorang pembaca blog ini yang tidak mau disebut namanya, telah membuat amplifier AKSA 55 berdasarkan schematic yang ada pada blog ini. Ini implementasinya:

Saudara Taufik yang komentarnya ada di bawah, mengirimkan foto hasil implementasinya kepada saya. Fotonya seperti ini:

Pembahasan dan cara pembuatannya ada di sini. Update 22 Maret 2015 Still4given (member ditaudio.com) yang ingin membuat amplifier ini, mengalami masalah pengaturan arus bias karena memakai transistor Q4 yang berbeda dengan schematic di atas. Oleh karena itu saya memodifikasi rangkain bias servo untuk mengakomodasi berbagai macam transistor untuk Q4, contohnya: 2SC3423, 2SC3503, MJE340. Schematicnya ada di bawah ini:

Still4given memakai 2SC3423 pada Q4 dan trimpot 200 Ohm. Menurutnya rangkaian bias servo sebenarnya bisa bekerja dengan Q4 memakai 2SC3423 tanpa modifikasi lainnya. Ini hasinya implementasinya:

Komentarnya bisa dibaca di sini.
Macam-macam Proteksi Amplifier
Berbagai macam kerusakan mungkin akan terjadi saat pengoperasian amplifier. Agar amplifier tidak menyebabkan kebakaran atau merusak speaker maka diperlu berbagai macam proteksi. Jenis-jenis proteksi pada amplifier antara lain:
- Perlindungan terhadap beban ouput yang terlalu kecil impedansinya.
Kabel speaker kadang-kadang secara tidak sengaja juga bisa terhubungsingkat.
- Perlindungan terhadap tegangan output yang melebihi tegangan power supply.
- Perlindungan terhadap tegangan DC pada output amplifier (DC offset).
- Perlindungan terhadap suhu yang terlalu tinggi.
- Perlindungan terhadap tegangan trainsient pada output amplifier.
- Perlindungan terhadap kliping.
- Proteksi internal.
Untuk produk amplifier yang dijual di Eropa, dilakukan safety testing dengan menghubungsingkatkan emitor dan kolektor setiap transistor untuk mengetahui bahaya yang mungkin terjadi akibat hal tersebut.
Semua proteksi tersebut menyebabkan rancangan amplifier bertambah rumit dan harganya bertambah mahal. Seringkali juga mengurangi kualitas suaranya (cacat harmonic meningkat, dan sebagainya).
Proteksi terhadap speaker baik dengan relay mekanik maupun elektronik, umumnya seperti ini:

Blameless Amplifier 270 Watt Untuk Public Address (PA)
Amplifier untuk Public Address (PA) atau untuk musik live (audio pro) memiliki prioritas berbeda dalam merancang spesifikasinya. Prioritas itu umumnya adalah (dari yang tertinggi sampai yang terendah):
- Efisien
- Handal terhadap penggunaan yang salah.
- Tahan terhapap lingkungan yang “ekstrem” seperti suhu tinggi, kelembaban tinggi, sumber listrik yang penuh noise, dan sebagainya.
- Tahan dioperasikan dalam waktu lama, minimal mampu dioperasikan terus-menerus selama 24 jam.
- Kualitas suara yang memadai.

Bagian Input
Amplifier ini menggunakan topologi Lin, sehingga inputnya adalah penguat diferensial atau Long Tail Pair (LTP), yaitu T1 dan T2. Sumber arus bagi LTP didapat dari T3 dan T4, sebesar 4,2mA. Beban LTP menggunakan cermin arus emitter follower augmented (EFA) T5, T6, dan T7. R1 dan R2 untuk menaikkan slew rate namun penguatan tegangan pada LTP berkurang. R3 untuk mengatur tegangan DC offset amplifier ini. Dari LTP diumpankan ke VAS, T8 dan T18 dengan konfigurasi darlington atau biasa disebut beta enchanced VAS. Beban VAS adalah sumber arus T19 sebesar 10,66mA. Basis T19 diambil dari kolektor T4 melalui R16. Kolektor T4 ini tegangannya sekitar 1,3V sehingga sumber arus ini bisa menggunakan satu transitor. Karena T19 dan T19 melepaskan daya sekitar 460mW maka perlu pendingin kecil (pendingin transistor TO-220 yang paling kecil). T9 membatasi arus transistor VAS maksimal 20mA. Jika bagian output terjadi masalah transistor VAS tidak akan rusak.
Bagian Output
Output amplifier ini memakai topologi double emitter follower yang mudah diimplementasikan, yaitu pasangan T12 dan T14 yang paralel dengan T15 dengan T13 dan T16 yang paralel dengan T17. Transistor driver T12 dan T13 bisa diberi pendingin terpisah atau menjadi satu dengan pendingin transistor T14, T15, T16, dan T17. Sebagai penstabil arus kolektor transistor output digunakan Q3 yang harus dipasang di pendingin utama. Arus kolektor transistor output diatur oleh R20 yaitu sebesar 55mA. Transistor output diproteksi oleh T10, T11, D4, D5, D6, D7, R41, R42, R43, R44, dan R45 yang membentuk multiple slope V-I protection. Proteksi ini tidak terpengaruh terhadap tegangan catu daya. Rangkaian ini akan mendeteksi beban amplifier dan membatasi arus transistor output berdasarkan besarnya beban amplifier.
| Beban Amplifier | Arus maksimal tiap-tiap transistor output |
| Hubungsingkat | 2 Ampere |
| 1 Ohm | 2,7 Ampere |
| 2 Ohm | 9 Ampere |
| 3 Ohm ke atas | Proteksi tidak bekerja |
Kompensasi amplifier ini menggunakan Transitional Miller Compensation(TMC). Rangkaiannya terdiri dari C2, C3, dan R22. Kompensasi TMC lebih unggul daripada kompensasi Miller biasa yang menggunakan satu kapasitor. Cacat harmonik pada frekuensi tinggi menjadi berkurang. Phase Margin sebesar 67 derajat dan Gain Margin sebesar 12 dB, jadi amplifier ini stabil.
Spesifikasi
Berdasarkan simulasi didapatkan spesifikasi sebagai berikut:
| Total Harmonik Distortion (THD) | Kondisi |
| 0.000456% | 1kHz, 110W rms pada 8 Ohm |
| 0.004614% | 20kHz, 110W rms pada 8 Ohm |
| 0.000505% | 1kHz, 220W rms pada 4 Ohm |
| 0.012291% | 20kHz, 220W pada 4 Ohm |
Update 7 April 2014
R43 dan R44 diganti menjadi 1K2 untuk memperbaiki performa proteksi bagian output. R46 diganti menjadi 100 Ohm agar transistor driver selalu dalam kondisi bias kelas A. Adapun perubahan tersebut menghasilkan performa sebagai berikut.
| Beban Amplifier | Arus maksimal tiap-tiap transistor output |
| Hubungsingkat | 2 Ampere |
| 1 Ohm | 2,4 Ampere |
| 2 Ohm | 4,8 Ampere |
| 3 Ohm | 7,2 Ampere |
| Total Harmonik Distortion (THD) | Kondisi |
| 0.000354% | 1kHz, 110W rms pada 8 Ohm |
| 0.005158% | 20kHz, 110W rms pada 8 Ohm |
| 0.000448% | 1kHz, 220W rms pada 4 Ohm |
| 0.013220% | 20kHz, 220W pada 4 Ohm |
Update 9 Februari 2015
Oleh karena adanya pengakuan seseorang pada suatu group di sosial media, bahwa dia sudah berhasil mengimplementasikan amplifier ini dan merasa puas hasilnya, maka saya terdorong untuk meningkatkan kualitasnya. Setelah saya punya beberapa pengalaman dalam mengimplementasikan rancangan dengan slew rate yang tinggi, maka saya memiliki keyakinan kuat bahwa implementasi amplifier dengan slew rate yang tinggi tidak terlalu sulit. Hanya butuh ketelitian dalam pembuatan PCB-nya agar amplifier stabil.
Perbaikan kali ini yang utama pada rangkaian kompensasinya agar slew rate nya meningkat. Juga penggantian transistor driver yang lebih baik yang memiliki fT yang tinggi sehingga THD pada frekuensi tinggi bisa lebih kecil lagi. Pada outputnya diberi proteksi tegangan balik dari speaker yang berupa dioda, karena speaker memiliki induktansi yang cukup besar. Rangkaiannya ada di bawah ini.

Hasil Simulasi
| Total Harmonik Distortion (THD) | Kondisi |
| 0.000571% | 1kHz, 126W rms pada 8 Ohm |
| 0.001970% | 20kHz, 126W rms pada 8 Ohm |
| 0.000555% | 1kHz, 252W rms pada 4 Ohm |
| 0.003786% | 20kHz, 252W pada 4 Ohm |
Gain Margin = 10 dB
Slew Rate = 62 V/µS
PSRR pada 1kHz = 89 dB
Layout Yang Disarankan

Update 16 Oktober 2015
Saya perbaiki layout PCB nya seperti ini.



Hasil Implementasi
Teman saya telah berhasil membuat amplifier ini dan mengirimkan fotonya kepada saya untuk di muat di blog ini. Tipe transistor final diganti dengan tipe lain, ternyata arus bias tidak bisa kecil. Setelah R27 diganti dengan resistor 820 Ohm, maka arus bias bisa diatur sebesar spesifikasi yang saya sebutkan di atas.

Review-nya bisa dilihat di group Facebook “DIY Indonesia”.
Macam-macam Cacat Pada Audio Amplifier
Untuk menguatkan sinyal audio dengan akurat diperlukan amplifier yang bebas dari segala macam cacat. Sayangnya tidak ada amplifier yang ideal. Berbagai macam cacat dihasilkan oleh amplifier karena ketidaklinierannya. Jenis-jenis cacat pada audio amplifier adalah:
- Total Harmonic Distortion (THD)
- InterModulation distortion (IM)
Misalnya sinyal sinus 19kHz dan sinus 20kHz diberikan pada masukan amplifier, maka amplifier itu akan mengasilkan frekuensi 19kHz, 20kHz, 38kHz (harmink ke-2 dari 19kHz), 40kHz (harmonik ke-2 dari 20kHz), 57kHz (harmonik ke-3 dari 19kHz), 60kHz (harmonik ke-3 dari 20kHz), dan seterusnya dari frekuensi harmonik kedua sinyal sinus tersebut. Selain itu juga dihasilkan frekuensi 1 kHz ( 20kHz – 19kHz), 2kHz (40kHz – 38kHz), 3kHz (60kHz – 57KHz), dan seterusnya yang merupakan perbedaan dari frekuensi dasar kedua sinyal sinus dan harmonik-harmoniknya.
Frekuensi-frekuensi hasil dari perbedaan kedua frekuensi dasar dan harmonik-harmoniknya inilah yang disebut InterModulation distortion atau cacat intermodulasi.
Cacat intermodulasi berguna untuk mengetahui ketidaklinieran audio amplifier yang memiliki lebar jalur frekuensi yang tidak terlalu lebar atau alat ukurnya yang tidak memiliki lebar jalur frekuensi yang lebar. Misalnya jika amplifier memiliki lebar jalur frekuensi 10Hz sampai 30kHz, maka THD pada 20kHz tidak bisa diukur dengan akurat, karena frekuensi harmoniknya akan teredam.
- Interface InterModulation distortion (IIM)
Cacat ini disebabkan oleh impedansi keluaran yang tidak nol dan umpan balik negatif yang besar. Audio amplifier mengendalikan speaker yang menghasilkan sinyal listrik jika membrannya bergerak (seperti microphone), biasa disebut back electromotive force (emf). Sinyal back emf ini akan mengacaukan sinyal umpan balik sehingga menghasilkan cacat intermodulasi.
- Transient InterModulation distortion (TIM)
- Crossover distortion




